Oleh : Adhi Bua
Luwuk, Banggaiplus.com-Menjadi pertanyaan besar dalam benak lelaki itu, apakah sepuluh tahun atau beberapa puluh tahun ke depan Maleo-Maleo itu akan tetap lestari sementara ada rencana besar pemerintah untuk menjadikan lahan tambang minyak di sekitar kawasan Bakiriang.
Apa mungkin Maleo bisa bertelur dibawah pipa-pipa minyak yang berseliweran di kawasan itu. Dan apakah unggas sakral tersebut dapat bertengger di atas kilang minyak yang membara? Ataukah burung itu dapat pakan dari sisa-sisa makanan buruh pabrik tambang minyak dan gas..?
belum lagi ancaman lain yang sangat serius mengintai eksistensi Maleo.
Dengan dibukanya pertambangan di zona Bakiriang tersebut, otomatis akan melibatkan banyak orang yang notabenenya warga pendatang sebagai pekerja. Nah seiring dengan itu, tidak menutup kemungkinan akan terjadi perburuan baik telur maupun Burung Maleo itu sendiri…Ini yang kemudian membuat hati lelaki Purbaya tersebut miris dan pesimis akan kelangsungan Maleo.
Om Samad juga sudah membayangkan bagaimana jika Maleo-Maleo tadi harus musnah di dalam penggorengan, untuk dijadikan telor mata sapi dan Burung Maleo goreng, atau penganan lain yang kemudian menjadi hiasan meja makan.
Tapi ada yang sedikit menghibur dirinya, jika kelak cucunya bertanya soal bagaimana wujud sebenarnya Burung Maleo. Hanya dengan uang dua puluh lima ribu rupiah, (itupun kalau ongkos transportasi Toili-Luwuk belum naik) sebagai ongkos untuk melihat Maleo di habitat barunya.
Maleo yang satu ini memang sedikit beda dengan Maleo lainnya meski tinggal di antara hiruk pikuknya kota, dimana kendaraan berseliweran di depannya dia tidak juga bergeming.
Tak heran jika Maleo tersebut kekal abadi dan tetap lestari pada halaman rumah jabatan Bupati Banggai sebagai habitatnya yang baru. Kami berdua hanya manggut-manggut mendengar penjelasan atau lebih tepat kalau disebut ungkapan keprihatinan, seorang kakek dari beberapa orang cucu itu.
“Oh..ya, bagaimana kalau kita lihat langsung lokasi penangkaran…dekat kok mungkin hanya satu kilo saja dari sini, biasanya kalau beruntung kita dapat menyaksikan Maleo bertelur”, kata Om Samad menawarkan.
Tawaran itu langsung kami respon tanpa memberi jeda sedikitpun “ya..kami mau” jawab kami hampir bersamaan.
Sejurus kemudian kami bertiga berjalan beriringan…kira-kira 30 menit perjalanan kami…lelaki itu memberi isyarat kepada kami berdua yang membuntutinya, dengan menempelkan jari telunjuk ditengah bibirnya, sssst…..
Kami pun langsung mengatur langkah agar tidak menimbulkan suara berisik ketika menginjak ranting kering.
Perlahan dia menyibak dedaunan yang menghalangi pandangannya. Tiba-tiba dengan suara setengah berbisik, Om Samad memanggil.
”Lihat…ada sepasang maleo disana, sambil menunjuk searah jam dua belas, yang menggali pasir itu betina sementara yang bertengger di dahan kering itu jantannya,” katanya pelan.
“Kenapa si jantan tidak membantu betinanya menggali pasir”, tanya saya.
“Mereka sudah tahu tugas mereka masing-masing si jantan kebagian tugas mengawasi kondisi disekitar tempat bertelur sang betina. Demikian pula betina menggali liang pasir untuk menunaikan tugas utamanya yaitu bertelur. Setelah beberapa saat kemudian proses bertelur selesai dan betina akan kembali mengubur terlur tersebut,” balasnya.
Benar apa yang dikatakan Om Samat. Setelah itu sepasang Maleo terbang meninggalkan tempat penangkaran itu.
“Kenapa mereka meninggalkan tempat itu..lalu siapa yang mengerami telur tadi…?” Kataku dalam hati.
Setelah dua pasang sejoli itu terbang, kami bertiga langsung mendekati liang telur tadi. Namun masih ada yang mengganjal dalam hatiku. Akhirnya saya mengajukan pertanyaan.
“Kenapa mereka tega meninggalkan telurnya lalu siapa nanti yang mengerami nanti,” tanyaku.
“Oh..itu..memang demikian perilaku unggas yang satu ini, mereka mempercayakan kepada alam untuk mengerami dan membesarkan keturunannya, hingga dewasa nanti. Seperti itu siklus kehidupan burung yang konon cerita sebagai hadiah seorang raja tersebut,” demikian kata Om Samad pendek.
Sayapun mengerti seberapa besar peranan alam dan manusia disekitarnya untuk menjaga kelestarian burung tersebut.
Singkatnya menjelang maghrib kamipun meminta diri kepada Om Samad yang sedari tadi rela meluangkan waktu untuk menceritakan keberadaan Maleo.. ditengah krisis habitatnya yang kian menyusut. Dengan hati yang puas kamipun meninggalkan Desa Saluan…kembali ke Luwuk…untuk menuangkan pengalaman kami dengan Om Samad ke dalam tulisan.
Seiring dengan perjalanan waktu, kekuatiran Om Samad yang dia sampaikan kepada kami dua puluh satu silam terjawab.
Mega proyek pembangunan fasilitas pabrik migas pun terealisasi. Namun kekuatiran atas kepunahan maleo terjawab karena perusahan migas yang berdampingan dengan habitat maleo, seperti JOB Tomori, DS LNG dan PT. Panca Amara utama (PAU) berkomitmen untuk menjaga habitat dan kelestarian maleo.
Anak cucu dan generasi yang akan datang tak hanya mendengar kisah atau dongeng burung maleo, seperti kekuatiran Om Samad. Sebab Itu dapat pihak perusahan telah memprogramkan penangkaran burung maleo. Bahkan sudah beberapa kali melepasliarkan sejumlah burung sakral itu ke habitatnya.****
(Tamat)