banner 728x90 banner 728x90 banner 728x90

Kisah Sang Penangkar Maleo (Bagian…1)

banner 728x250

Oleh : Adhi Bua

Luwuk, Banggaiplus.com-Burung maleo (Manuk Mamua) atau dalam bahasa ilmiahnya Macrocephalon maleo, yang menjadi ikon Kabupaten Banggai ini, tak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat adat di Banggai, Bangkep dan Balut. Sehingga unggas yang habitatnya utamanya berada di Kawasan Hutan Lindung (KHL) di dataran Batui-Toili Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah (Sulteng), dianggap sakral.

Kesakralan unggas unik ini, karena tak terlepas dari tradisi masyarakat adat Banggai yang disebut ‘Tumpe’. Tradisi ‘Tumpe’ yang hingga kini masih lestari, adalah upacara seserahan telur maleo oleh masyarakat adat kepada Tomundo atau Raja Banggai.

Seperti apa ciri-ciri spesies burung maleo..itu ?. Burung maleo termasuk suku megapodiidae, yaitu suku burung yang memiliki kepala relatif kecil, bulunya hitam dan sedikit berwarna putih dibagian dadanya, memiliki kaki besar dan kokoh yang digunakan untuk membuat liang tanah atau pasir menyimpan telurnya.

Mereka menggali tanah atau pasir pada kedalaman tertentu untuk meletakkan telurnya, yang kemudian ditimbun hingga permukaan tanah seperti semula untuk mengelabui predator.

Selain keunikan fisik dan ukuran telurnya, unggas yang satu ini memiliki perilaku unik ketika bertelur. Kalau burung atau unggas lain ketika bertelur dan mengerami telurnya, dilakukan dalam sarang. Namun maleo bergantung pada kondisi alam di daerah yang terdapat panas bumi (geothermal) atau di pasir pantai yang hangat.

Dengan keunikan yang dimiliki burung maleo, banyak ilmuan, jurnalis dan kalangan lain tertarik mengetahui seperti apa perilaku unggas dihabitat alamiahnya. Baik untuk kepentingan penelitian atau bahan tulisan bagi kalangan jurnalis atau penulis.

Seperti dua puluh satu tahun silam, atau Januari 2001 (Hari dan Tanggalnya Lupa) salah seorang jurnalis senior di Sulteng, Darlis Muhammad (Koran Tempo). Tertarik untuk mengulik perilaku maleo dihabitat aslinya.

Dia (Darlis Muhammad) memilih Kawasan HL Bakiriang sebagai objek pengumpulan data untuk bahan tulisan di medianya.

Untuk sampai kesana, Darlis yang belum mengetahui akses ke tempat tersebut tentu perlu seseorang teman sebagai ‘penunjuk jalan’. Saya yang ketika itu masih sebagai wartawan Banggai Pos diajak untuk menemaninya.

Singkatnya, ketika itu sebelum matahari meninggi kami sudah bertolak dari Luwuk (Ibukota Kabupaten Banggai) menuju Desa Saluan Kecamatan Moilong yang diketahui berdekatan dengan dengan kawasan Bakiriang.

Hanya dengan menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh perjalanan sekira tiga jam kami berduapun sampai ke Desa Saluan.

Sesampai di desa itu, kami langsung “mengacak” desa tersebut untuk mencari sesosok lelaki yang disebut-sebut sebagai penangkar manuk mamua.

Tak butuh waktu lama untuk menemukan kediaman lelaki tersebut, karena memang dia dikenal di Kampungnya .

Sejurus kemudian kami menyambangi rumah yang jauh dari kemewahan. Darlis yang tak sabar lagi mendengar cerita tentang maleo dari mulut lelaki penangkar tersebut, langsung menghambur ke ambang pintu. Sayapun harus mengimbangi langkahnya, dan dia memberi isyarat kepada saya untuk segera mengucap salam, itu instruksi pertama yang dia sampaikan padaku hari itu. Aku pun tanpa tedeng aling-aling langsung mengucap salam dan tak lama terdengar balasan salam dari bilik kamar.

Lelaki itu pun berjalan ke arah kami yang tepat berdiri diambang pintu depan rumahnya yang memang tidak tertutup. Pertanyaan pun keluar dari mulut lelaki paruh baya setelah berhadapan dengan kami. “Maaf, mo ketemu siapa pak..?”, ujar lelaki (dengan dialeg lokal).

Sayapun langsung memperkenalkan nama dan maksud kedatangan kami.
Setelah lelaki yang sudah beruban itu mengetahui maksud dan tujuan kami menemuinya. Dia langsung merespon dan mengajak kami bercerita di bale bambu yang tepat berada di bawah pohon mangga di halaman depan rumahnya.

Sebelum memulai ceritanya, dia menyulut sebatang rokok kreteknya dan menghempaskan asap pertamanya keluar dan menghisap kembali rokoknya dalam-dalam.

“Oh iya maaf, orang biasa memanggil saya dengan sebutan Om Samad, katanya membuka perbincangan.

“Memang keberadaan Burung Maleo saat ini sudah sangat memprihatinkan pasalnya luasan habitatnya semakin sempit. Diperah lagi dengan buah kemiri sebagai pakan utamanya sudah sangat sulit di jumpai di hutan Bangkiriang,” ujarnya.

Dari pengakuan Om Samad, minimnya pakan maleo karena selain masyarakat mengambil buah kemiri untuk dijual pada pengepul, ada juga pembalak liar yang menebangi pohon kemiri untuk dijadikan kayu olahan.

Tak dapat disangkal, dari wajahnya yang sudah mulai menua nampak guratan kekuatiran, sebab dengan tipisnya ketersedian pakan dan kian susutnya habitat karena adanya alih fungsi menjadi lahan perkebunan sawit, kemudian ditambah lagi dengan rencana mega proyek pembangunan fasilitas tambang Migas menjadi ancaman serius keberadaan ‘rumah maleo’. Sebab aktifitas dua hal itu, jelas berimbas pada eksistensi maleo.

Tak dapat dihindari ketika aktifitas dua aspek dapat dipastikan akan menimbulkan nyanyian sumbang dari alat berat atau gemuruh pohon tumbang, yang menurut Om Samad sebagaai koor untuk mengusir burung yang dikeramatkan oleh masyarakat adat Banggai ini.

Namun bagi Om Samad kekuatiran itu jadi lecutan semangat untuk tetap berjuang mempertahankan kelestarian burung maleo.

Meski tak ada catatan pasti soal berapa jumlah burung maleo khususnya di penangkaran yang diawasi Om Samad ketika itu. Namun dari amatannya sebelum adanya penangkaran alamiah di desanya itu, dia memperkirakan hanya sekitar belasan pasang saja.

“Namun setelah dilakukan penangkaran yang kini sudah hampir sepuluh tahun setidaknya jumlahnya bertambah menjadi puluhan pasang,” ujar om Samad.***

Bersambung….

error: Content is protected !!