Oleh : Ihsan Basir SH,LL.M
Sebelumnya, saya pernah melakukan ini ketika berada di Kota Palu. Kemudian saya melakukan lagi saat berdomisili di Banggai kepulauan.
Utak-atik mesin pencari google, saya lakukan karena saat senggang itu, bisa didengar begitu banyak pecinta kopi atau sekedar penikmat isu, yang berdiskusi soal trend politik Sulteng maupun di Banggai Kepulauan saat ini.
Hal ini setidaknya membuat saya ingin tahu, apakah sebabnya masyarakat begitu penasaran dengan yang namanya politik.
Salah satu jawaban menarik dari hasil “pencarian” itu adalah tanggapan seorang wanita pengelana bernama Sarah Chang.
Mengapa orang-orang begitu ingin tahu tentang politik?
Menurut Chang karena “Your political leanings and opinions get to the core of who you are: what you value” (pendapat dan kecenderungan politikmu, secara subtantif membawamu pada siapa dirimu dan apa yang engkau hargai).
Itulah sebabnya mengapa, menurut Chang, seseorang begitu defensive menyangkut pendirian politiknya.
Hal itu karena prinsip dan nilai-nilai yang dipegang sedang dikibarkan dan diuji serta dikritik oleh publik, atau setidaknya oleh orang-orang di sekelilingnya.
Kondisi tersebut kemudian akan punya magnitude yang lebih dasyat apabila dilakukan secara masal dan dengan skala publik tertentu dan menjadi perhatian karena drama perdebatan atas sensitifitas topiknya.
Maka tak heran apabila politik akan menjadi menarik bagi seseorang karena secara tangible memberikan efek baik langsung maupun tak langsung bagi dirinya.
Seorang pendukung si A misalnya, akan sangat defensive atau selalu memberikan pembelaan bila ada telaahan kritis menyangkut kebijakan ataupun style orang yang didukungnya ketika menghadapi masalah.
Begitupun sebaliknya, seorang pengkritik tokoh A yang kebetulan sekaligus pendukung kandidat lain, akan membela mati matian kandidat yang didukungnya.
Hal tersebut tak lain karena personal-personal tersebut “merasa” sedang diuji terkait prinsip dan nilai-nilai yang dipegangnya.
Jawaban lain yang cukup menarik dari hasil mesin pencari berasal dari Barry Hampe, seorang warga negara Amerika.
Menurut Hampe, politik menjadi menarik karena merupakan suatu hubungan symbiotic antara para jurnalis dan politisi.
Masing-masing saling membutuhkan untuk menjaga atau memeliharan pekerjaannnya.
Jurnalis memainkan peran dengan memberitakan isu-isu politik, sementara para politisi bermain atau memainkan isu yang dapat di”jual” secara politis.
Kita sebagai pendengar atau penikmat isu, tinggal menanti suapan dengan sendok “berita” yang sudah di sajikan oleh dua profesi itu.
Kembali pada pendapat Chang di atas, kadangkala hubungan seseorang dengan orang yang ditokohkan melampaui batas nalar, karena sang empu pendapat atau pendukung salah satu tokoh politik, kemudian secara berlebihan “mempersonifikasikan” dirinya dengan tokoh idola.
Bahkan sang pendukung kadangkala lebih “garang” dari yang didukung.
Apabila pendukung memiliki kapasitas intelektual yang kurang memadai, maka biasanya yang terjadi adalah tindakan anarkis.
Ini tak berarti bahwa pendukung dengan kapasitas intelektual lebih baik, akan berakhir dengan damai atau happy ending.
Pendukung dengan karunia intelektual yang baik, tetapi fanatic buta pada orang yang didukungnya justru akan melahirkan anarkisme yang viral.
Statementnya yang begitu seksi dan indah bak bunga semerbak, bisa “meracuni” pola dan logika berpikir masyarakat luas.
Dan statement indah mewangi inipun, akan segera dengan cepat digunakan oleh pendukung-pendukung lain guna “menghabisi” logika berpikir lawan.
Dalam konteks ini, kelompok intelektual lawanpun akan segera “menangkis” statement yang dianggap beracun tadi, dengan tanggapan yang tak kalah menyengat bisa racunnya.
Inilah yang saya sebut sebagai bentuk anarkisme viral.
Karena hal ini ketika masuk pada akar rumput, akan menjadi mass clash yang berbahaya.
Mungkin sebuah status, di media social yang baru saja saya lihat, cukup representative mewakili apa yang dimaksud dengan perang opini intelektual di atas.
Dalam status tersebut, tertulis seperti ini: ‘ketika gue berkata pada seseorang “dasar loe maling sialan.. babi ngepet.. anjing hutan.. setan alas…hantu blau..” maka yang tau maksud dari perkataan saya ini hanyalah saya.
Dan ketika saya dipersalahkan dan diserang atas perkataan saya tersebut, maka saya bisa berkelit bahwa ucapan saya itu tidak bermaksud buruk dan justru bermaksud baik, yang lain tidak boleh menafsirkan macam macam perkataan saya itu..’
Bisa kita lihat bahwa, tanggapan bahkan “serangan” balik bakal dialamatkan pada pernyataan-pernyataan serupa yang dianggap tidak sesuai misi politik oleh masing masing pendukung.
Fasilitasi Politik Lokal yang Diharapkan
Dalam konteks lokal, baik skup Provinsi maupun Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah, pola-pola sebagaimana telah diuraikan di atas, tak berbeda jauh realitas empirisnya.
Pun begitu yang saya lihat di Banggai Kepulauan.
Perang opini di media social, baik yang rasional maupun tidak, kala Pilkada maupun Pilpres dihelat juga terjadi di sini.
Beberapa ungkapan, pernyataan maupun hujatan banyak terlihat dalam media social.
Meskipun tak sampai terjadi social clash yang mengarah pada perbuatan anarkis, setidaknya keguyuban social dapat terganggu.
Yang menarik, pola hujatan dan saling mengkritisi dengan keras di media social tak terjadi di “arena luring” .
Di tempat leyeh-leyeh kami maupun beberapa warung kopi, saya sempat melihat beberapa perdebatan soal Pilkada maupun Pilpres sebelumnya.
Tapi perdebatan itu, meskipun kadang kala memanas, toh bisa dilakukan dengan gayeng dan guyub.
Masing-masing orang dengan prinsip dan nilai-nilai politik yang diyakininya, bisa memahami prinsip dan nilai politik yang diyakini oleh orang lain.
Saya jadi berpikir, apakah suasana dan kondisi, ataukah soal pertemuan secara fisik yang mempengaruhi sebuah interaksi social?
Suasana informal di warung kopi misalnya, tentu bisa diasumsikan bahwa orang-orang yang sedang berada di tempat itu dalam suasana yang nyaman dan tidak lapar.
Suasana ini mungkin sangat mempengaruhi mood siapapun yang berada di tempat itu.
Ada ungkapan bahwa bangsa yang pemarah adalah bangsa yang rakyatnya lapar.
Hal ini mendapat justifikasi teoritis sebagaimana dilansir Livestrong yang kemudian dikutip oleh detikhealth, rasa lapar memang memicu amarah.
Hal ini karena bila orang dibiarkan lapar dalam jangka waktu lama, maka kadar gula darah di dalam tubuhnya sangat terganggu.
Akibatnya, pasokan glukosa (gula) yang mencapai otak menjadi berkurang.
Di dalam darah, glukosa dikirim juga ke otak sebagai sumber energi yang antara lain berguna untuk mengontrol temperamen dan emosi negatif lainnya.
Rendahnya kadar gula darah atau hipoglikemia inilah yang akan membuat amarah seseorang menjadi naik, sehingga mudah tersinggung dan marah.
Di lain sisi pertemuan secara fisik, betul-betul tak dapat digantikan oleh interaksi social di dunia maya.
Simbol-simbol emosi yang dipakai dalam dunia maya, tak bisa secara real menjelaskan emosi lawan bicara kita di seberang sana.
Sementara ketika pertemuan dilakukan secara langsung dan saling bertatap muka, setiap orang dapat menakar emosi masing-masing dari pancaran wajah secara langsung.
Dari sini, masing-masing orang dapat menahan diri dalam memaksakan kehendak atau mencoba meyakinkan orang dengan nilai dan prinsip politik yang diyakininya.
Inilah sebabnya, saya berpikir perlu ruang-ruang informal dalam proses penyaluran aspirasi politik yang mengarah pada proses pencerahan pemikiran dan pendidikan politik yang baik dan guyub.
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Chang di atas, bahwa baik langsung maupun tak langsung, politik mempengaruhi kehidupan kita.
Hal inilah yang membuat kita berupaya untuk mengaktualisasikan diri baik secara personal maupun dengan pola personifikasi diri kita dengan tokoh yang kita dukung atau kita idolakan.
Mau tak mau, suka atau tak suka, sepertinya media untuk memfasilitasi “hasrat” politik ini perlu disediakan.
Pola-pola interaksi secara fisik yang “monondok” dan gayeng semacam diskusi warung kopi, dapat menjadi salah satu alternative menyalurkan hasrat politik tersebut.
Tentunya dengan kemasan lebih baik dan disesuaikan dengan atmosphere good governance yang sama kita inginkan.
Dalam suasana pontoutusan/montolutusan itu pula dapat disebarkan benih-benih politik sehat tanpa mahar.
Saya sendiri sedang memulainya dengan pola penyebaran mural di sudut-sudut Kota Salakan, agar warga dapat terlepas dari proses pembodohan politik, bernama politik uang.
Wallahu a’lam bishowab.
Ihsan Basir SH, LL.M, Juni 2023
(Penulis merupakan Pj Bupati Banggai Kepulauan)