BANGGAIPLUS.COM – Ditengah kehidupan politik yang sibuk dan hiruk pikuk, mencari nakhoda baru di hampir semua daerah di negeri ini, ada sejumput harapan yang menggantung. Momen tersebut kemudian menjadi sebuah jalur kompetisi bagi politisi dan kalangan profesional lainnya untuk menyalurkan hasrat politik mereka.
Setelah mendapat legalitas, pasangan calon nakhoda dipersilahkan menggunakan perahu partai politik serta disarankan untuk membekali perjalanan mereka dengan strategi, visi-misi dan kemapuan budgeting yang mumpuni dan menguras pundi-pundi mereka.
Strategi dan budgeting adalah dua aspek fundamental yang harus disiapkan untuk sampai pada tujuan, yaitu tempat dimana kapal besar yang bernama “Kekuasaan” tengah buang sauh.
Perjalanan mereka hanya menyisakan dua pekan atau 14 hari lagi, terhitung mulai hari ini 13 November 2024. Banyak wilayah dan masyarakat pemukim di wilayah itu yang telah disambangi para kandidat.
Disaat momen tatap muka dengan warga, totalitas personality paslon menjadi hal mutlak untuk dilakukan. Mulai dari menampakkan identitas, intelektualitas, kepekaan sosial, kecakapan berargumentasi, dan memperlihatkan kepribadian yang baik.
Tak mengapa walau itu hanya sebuah janji kosong dengan kepura-puraan belaka. Berpura-pura merakyat, makan dan diskusi hanya duduk melantai beralaskan tikar, menyambangi dan menyantuni warga yang tengah menderita sakit, memberi bantuan sosial pada warga dan rumah ibadah, pokoknya masih banyak lagi aksi kedermawanan dadakan di momen Pilkada ini.
Bahkan ada yang tampil bak superhero yang sanggup mengurai masalah dan menjamin kesejahteraan petani dan nelayan, melalui pemberdayaan UMKM. Mereka juga dengan keyakinan tinggi dapat merevitalisasi infrastruktur publik, pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, memenuhi kebutuhan air bersih dan kebutuhan energi listrik hanya dengan waktu dan budget yang terbatas.
Mungkin rasa malu tak menepati janji tak lagi berdiam dalam diri mereka, hanya demi sebuah kekuasaan, mereka rela mengenakkan jubah kebesaran “Abunawas”.
Sehingga tak heran calon nakhoda itu secara koor mendendangkan simfoni dengan gubahan lirik janji palsu untuk meninabobokan warga, walau nadanya terdengar minor dan sumbang. Namun masih ada saja yang percaya. Tidak sedikit pula yang meragukan janji-janji mereka.
Namun sekali lagi, demi memuluskan niat ambisius mereka. Selain mengenakkan juba kebesaran “Abunawas”, dipastikan mereka akan bertransformasi menjadi santa claus. Dengan mengeluarkan ajian dan jurus membagi-bagikan “permen” untuk membujuk, menyuap atau membeli hak politik warga.
Tanpa disadari, aksi “suap” yang mereka lakukan itu , justru mereka membuka ruang kemalangan mereka sendiri. Kenapa demikian, penulis mencoba mengilustrasikan secara sederhana, seperti apa potensi kemalangan yang nantinya mereka rasakan. Begini. Dari sekian pasangan calon yang berkompetensi hanya ada satu champion dan lainnya pasti dinyatakan gagal atau kalah bertarung. Itu artinya ada pasangan calon, mungkin tanpa kesadaran atau bisa jadi alam berpikir mereka telah terpapar oleh ambisi kekuasaan, sehingga rela merogoh kocek miliaran bahkan puluhan miliar rupiah, hanya untuk membiayai sebuah kekalahan atau kegagalan mereka sendiri. Namun itu sebuah konsekuensi logis dalam mengadu nasib untuk mewujudkan mimpi menjadi seorang penguasa.
Mereka yang gagal mungkin bisa menerima kekalahan dan masih bisa tertawa diatas pentas, untuk menjaga integritas politik mereka. Namun tak akan sanggup menahan tangis di balik layar.***